www.facebook.com/KAMPUNG.LAUT.ONLINE Pendangkalan Segara Anakan
ternyata sudah sedemikian parah. Selain
menyebabkan hilangnya habitat laut,
pendangkalan ini juga mengubah
pekerjaan sebagian warga Kampung Laut,
sebuah kecamatan di Cilacap yang
berhubungan langsung dengan Segara
Anakan, yang tadinya nelayan menjadi
pemulung sampah.
''Jumlah mereka yang menjadi pemulung
saat ini lebih dari 40 orang. Namun kami
yakin jika pendangkalan terus
berlangsung, akan semakin banyak warga
yang berubah menjadi pemulung
sampah,'' kata Ketua LSM Wahana Peduli
Segara Anakan (WPSA) Teguh Slamet,
kemarin.
Layaknya nelayan biasa, mereka
menggunakan perahu dan jaring untuk
bekerja setiap hari. Namun bukannya
untuk menjaring ikan, jaring tersebut
mereka gunakan untuk menjaring sampah
plastik, kertas atau sampah lain yang
terapung di wilayah Segara Anakan.
''Tragis memang, tapi itulah kenyataan
yang terjadi di masyarakat Kampung Laut
sekarang,'' ujar Teguh yang juga penduduk
asli Kampung Laut.
Bila beruntung mereka bisa
mengumpulkan sampah dari 5-10 kg
sampah setiap hari. Dengan harga per
kilonya Rp 1.200, mereka setidaknya bisa
mendapat uang untuk memberi makan
keluarga mereka pada hari itu.
Perubahan pekerjaan di kalangan nelayan
Kampung Laut mulai terjadi sejak tiga
tahun terakhir. Akibat menghilangnya
beragam ikan yang dahulu berlimpah di
wilayah tersebut, seperti kakap putih,
tembel, corak dan beberapa jenis ikan
khas Segara Anakan, nelayan tidak
memiliki pilihan selain menjadi pemulung.
''Ikan hilang, berganti sampah. Beragam
sampah yang datang dari daratan melalui
sungai Citandui yang bermuara di segara
tersebut, semakin hari semakin banyak,''
papar Darmono, yang juga dari LSM
WPSA.
Tanah Lumpur
Selain mengirim sampah, sungai tersebut
saat ini juga mengirim sedimen berupa
tanah lumpur kecoklatan akibat upaya
pelurusan alur Sungai Cibereum dan
Cimeneng yang dilakukan beberapa waktu
lalu.
Akibatnya, selain menimbulkan sedimen
yang lebih banyak, warna air di muara
sungai Citandui, terutama di perairan
Ujung Gagak, saat ini keruh. Ujung Gagak
adalah wilayah di Segara Anakan di mana
Sungai Citandui bermuara. Sementara itu,
Sungai Citandui merupakan induk
sejumlah sungai seperti Sungai Cimenang,
Cibereum, dan beberapa sungai lainnya.
Baik Teguh maupun Darsono
mengungkapkan, penghasilan sebagai
nelayan di Segara Anakan sudah tidak
mencukupi lagi. Dalam satu hari mereka
rata-rata cuma bisa menjaring 1-2 kg
udang yang harga perkilonya Rp 6.000.
''Bahkan ada warga Kampung Laut yang
saat ini dalam sehari cuma bisa makan
sekali,'' jelas Teguh.
Terkait dengan kondisi tersebut, LSM
WPSA meminta pemerintah meneruskan
sejumah program yang masuk dalam
program penyelamatan laguna Segara
Anakan. Termasuk di antaranya
diteruskannya rencana penyudetan Sungai
Citandui.
''Penyelamatan Segara Anakan penting
bagi semua, bukan cuma buat masyarakat
Kampung Laut. Bahkan dari studi yang
ada diketahui penyelamatan Segara
Anakan penting juga bagi ekosistem laut
dunia,'' tegasnya. (G21-55v)
Rabu, 24 April 2013
Akibat pendangkalan ada warga jd pemulung
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar